Aliran Hukum
Aliran
– Aliran Hukum
Hukum adalah sistem yang
terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hingga saat
ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian hukum. Telah
banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk memberikan pengertian
atau definisi hukum, namun belum ada satupun ahli atau sarjana hukum yang mampu
memberikan pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Ketiadaan
definisi hukum jelas menjadi kendala bagi mereka yang baru saja ingin mempelajari
ilmu hukum. Tentu saja dibutuhkan pemahaman awal atau pengertian hukum secara
umum sebelum memulai untuk mempelajari apa itu hukum dengan berbagai macam
aspeknya. Bagi masyarakat awam pengertian hukum itu tidak begitu penting. Lebih
penting penegakannya dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat.
Namun, bagi mereka yang ingin mendalami lebih lanjut soal hukum, tentu saja
perlu untuk mengetahui pengertian hukum.[10] Secara umum, rumusan pengertian hukum setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai
berikut:
·
Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia
dalam masyarakat. Peraturan berisikan perintah dan larangan untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur
perilaku manusia agar tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.
·
Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga atau
badan yang berwenang untuk itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang
melainkan oleh lembaga atau badan yang memang memiliki kewenangan untuk
menetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat bagi masyarakat luas.
·
Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan
hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Untuk menegakkannya
diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menegakkannya
sekalipun dengan tindakan yang represif. Meski demikian, terdapat pula norma hukum yang bersifat
fakultatif/melengkapi.[11]
·
Hukum memliki sanksi dan setiap pelanggaran atau
perbuatan melawan hukum akan dikenakan sanksi yang tegas. Sanksi juga diatur
dalam peraturan hukum. (
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum
)
hukum sebagai sebuah produk dialektika evolousioner
masyarakat niscaya harus terus berkembang dalam lingkupan zaman dan waktu.
Hukum yang dulu di anggap sebagai suatu keniscayaan, lambat laun mulai di
tinggalkan dan di gantikan peranannya oelh hukum yang lebih relevan bagi zaman
dan waktu tertentu. Namun, kajian yang sangat menarik dalam perkembangan ilmu
hukum adalah dalam perkembangan ilmu hukum dari masa ke masa tidak terjadi
sutau loncatan revolusioner atau perubahan secara menyeluruh seperti ilmu
eksak. Hukum sebagai ilmu berkembang secara kumulatif dan evolusi, dimana
perkembangan ilmu hukum tidak dapat diprediksi secraa matematis, namun harus
dengan pendekatan fisiologis yang juga menyangkut akan keyakinan suatu individu
atau masyarakat terhadap hukum tersebut. ( Tuguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju
Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada )
Dalam penemuan hukum terdapat beberapa aliran. Sebelum
tahun 1800 sebagian besar hukum adalah kebiasaan. Di muka hukum kebiasaan itu
beraneka ragam dan kurang menjamin kepastian hukum. Keadaan ini menimbulkan
gagasan untuk menyatukan hukum dan menuangkan dalam sebuah kitab undang-undang,
maka timbullah gerakan kodifikasi ( Mertokusumo, Sudikno. 2007. Mengenal Hukum:
Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty ).
Beberapa aliran atau muzhab dalam pemikiran tentang
hukum, dipandang sangat penting karena mempunyai pengaruh luas bagi pengelolaan
hukum lebih lanjut, seperti dalm pembuatan undang – undang dan penerapan hukum
termasuk dalam proses peradilan. Atau dengan kata lain beberapa aliran
kepercayaan hukum mewarna praktek hukum. Umumnya para ahli membagi
aliran-aliran dalam Filsafat Hukum menjadi 7 (tujuh) aliran.
Aliran hukum alam berkembang sejak 2500 tahun yang lalu.
Aliran ini timbul sebagai akibat dari kegagalan umat manusia dalam mencari
keadilan yang absolut. Hukum alam dipandang sebagai yang lebih tinggi dibanding
dengan hukum yang diciptakan oleh manusia. Aliran – aliran hukum tersebut
adalah :
- Aliran
hukum alam
- Aliran
hukum positif
- Aliran
utilitarianisme
- Aliran
sejarah
- Aliran
sociological jurisprudance
- Aliran
realism hukum
- Aliran
antropologis
- Aliran
hukum islam
I.
Aliran hukum alam
1. Esensi
hukum alam
Hukum alam adalah “Hukum yang abadi dan
berlaku dimana-mana dimuka bumi ini”. Teori mengenai hukum alam ini usianya
sudah sangat tua. Teori ini sudah diajarkan oleh yunani. Antara lain ahli pikir
yang bernama Aristoteles sudah mengajarkan, bahwa ada dua macam hukum yaitu
hukum yang berlaku karena penetapan manusia (oleh penguasa-penguasa atau
persekutuan hukum) dan disamping itu suatu hukum yang “asli”, bawaan kodrat
alam, tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik buruknya.
Aristoteles mengakui, bahwa pandangan orang tentang “keadilan” adalah
berbeda-beda, hingga seolah-olah tidak ada hukum yang asli (hukum alam)
tersebut, tetapi untuk keaslian sesuatu hal tidaklah menjadi syarat atau hal
tersebut diakui dizaman apa saja dan ditempat manapun.
Hukum alam memberikan dasar etika dan moral
bagi berlakunya hukum positif, memberikan dasar pembenarbagi berlakunya
kebebasan manusia dalam kehidupan negara, memberikan ide dasar tentang keadilan
sebagai tujuan hukum, dasar bagi konstitusi beberapa negara. Para penganut
hukum alam memberi arti hukum yang berlaku dengan menghubungkannya kepada
metafisika. Hukum bukan hanya merupakan fenomena empiris yang dapat diterangkan
dengan postulat-postulat tertentu, sebagaimana halnya dengan aturan tentang
permainan. Hukum mempunyai konotasi yang lebih jauh, yaitu berasal dari tuhan
pencipta alam atau berasal secara opriori dari watak rasional manusia. Jadi,
aturan hukum jauh lebih bermakna dari sekedar aturan main.Hukum alam (Natural
Law atau Law of Nature) adalah sistem hukum yang konon di tentukan oleh alam,
dan oleh karenanya bersifat universal. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Merupakan
ideal-ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
b. Suatu
dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu
pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,
c. Suatu
metode untuk menemukan hukum yang sempurna,
d. Isi
dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi
yang harus ada bagi kehadiran hukum.
e. Suatu
kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum
2. Fungsi
hukum alam
Friedman mengemukakan bahwa meskipun kini kita tidak
mungkin lagi menerima berlakunya hukum alam sebagai aturan, tetapi selama
sejarahnya, hukum alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum kita.
Sumbangan itu adalah :
a. Berfungsi
sebagai instrumen utama di dalam farmasi hukum perdata romawi kuno menjadi
suatu sistem yang lebih luas dan bersifat kosmopolitan.
b. Menjadi
senjata yang digunakan oleh kedua pihak dalam pertarungan antara pihak gereja
dengan pihak kekaisaran Jerman. Atas nama hukum alam maka keadilan hukum
internasional dapat ditegakkan.
c. Prinsip
– prinsip hukum alam telah menjadi senjata dari para hakim Amerika ketika
mereka membuat interprestasi atau pendapat terhadap konstitusi mereka, yaitu
dengan menolak campur tangan negara melalui perundang – undangan yang ditujukan
untuk melakukan pembahasan di bidang ekonomi.
d. Menjadi
tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu
berhadapan dengan keabsolutan.
3. Para
pemikir teori Hukum Alam
Cukup banyak filsuf yang menjadi pemikir atau penggagas
teori hukum alam. Pemikiran masing-masing tokoh hukum alam tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Plato
(472-347 SM),
Menurut plato, kita semua hidup dalam dunia yang tertata
inti dari dunia yang tertata ini, atau alam adalah bentuk-bentuk yang paling
fundamental adalah bentuk kebaikan, yang plato menguraikannya sebagai “wilayah
yang paling cemerlang dari suatu makhluk” bentuk kebaikan adalah asal mula
segala hal dan jika itu terlihat maka akan menuntun seseorang untuk berbuat
secara bijak.
b. Menurut
Aristoteles (384-322 SM),
Hukum Alam ialah “Hukum yang oleh orang-orang berpikiran
sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam” segala yang diperintahkan
oleh hukum dapat berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain,
tetapi segala yang diperintahkan “oleh alam” akan selalu sama dimanapun. Oleh
karenanya, hukum alam lebih merupakan sebuah paradoks daripada sesuatu yang
secara nyata eksis/ada.
c. Menurut
Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), dengan aliran stoic-nya, hukum alam
diartikan sebagai prinsip yang meresapi alam semesta, yaitu akal yang menjadi
dasar bagi hukum dan keadilan.
d. Menurut
Thomas Van Aquino (1225-1274 SM), penganut hukum alam dari aliran scholastik,
bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh akal
ketuhanan, hukum ketuhanan adalah yang tertinggi.
e. Hugo
De Groot (1583-1645), dalam bukunya “De jure belli ac pacis” (tentang hukum
perang dan damai), mengatakan bahwa sumber hukum alam adalah pikiran atau akal
manusia. Hukum alam ialah pertimbangan yang menunjukkan mana yanga benar dan
mana yang tidak benar.
4. Pembagian
hukum alam
a. Hukm
Alam Rasional
Hukum itu berlaku universal dengan menekankan terhadap
ratio manusia.Tokoh aliran ini antara lain Hugo Degrot.
b. Bukum
alam irrasional
Hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan
mengesampingkan aspek ratio manusia. Toko aliran ini antara lain adalah Thomas
Aquinas.
II. Aliran hukum positif
Aliran Positivisme (Hukum Positif) menyamakan
hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga
harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang (legisme).
Undang-undang dibuat oleh penguasa, oleh karena itu hukum merupakan perintah
dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari pemegang kekuasaan yang paling
tinggi atau pemegang kedaulatan.
Aliran filsafat hukum positif atau
positivisme cukup kuat pada zaman rasionalis, dikembangkan oleh Immanuel Kant,
aliran ini dianut oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ilmu pengetahuan.
Menurut Immanuel Kant, bahwa positivisme berpangkal pada pandangannya bahwa
manusia tidak mampu untuk mengetahui realitas selain melalui ilmu pengetahuan.
Kebenaran hanya didapati melalui ilmu pengetahuan, sehingga tugas para filsuf
itu mengumpulkan data-data untuk membuat sintesisnya.
Ada tiga cabang
yang muncul tentang positivisme di bidang hukum, yaitu :
a. Positivisme
sosiologis, yang memandang hukum sebagai gejala sosial saja. Sehingga hukum
hanya dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan yang baru muncul pada waktu
itu, yaitu sosiologi.
b. Positivisme
yuridis, yang memandang bahwa arti hukum itu sebagai gejala tersendiri, yaitu
menurut metode hukum positif.
c. Ajaran
hukum umum, ajaran ini merupakan ajaran yang dekat dengan positivisme yuridis,
pendapatnya bahwa kegiatan teoretis seorang ilmuwan terbatas pada uraian
tentang arti dan prinsip-prinsip hukum secara induktif-empiris saja.
Menurut John Austin yang juga penganut aliran
positivisme, bahwa hukum merupakan perintah dari penguasa, dengan merinci
unsur-unsur perintah sebagai berikut :
a. Adanya
kehendak dari satu pihak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya itu.
b. Pihak
yang diperintah itu akan mengalami siksaan jika kehendak itu tidak dijalankan
atau ditaati dengan baik.
c. Perintah
itu merupakan pembedaan kewajiban antara yang diperintah dengan yang
memerintah.
d. Ketiga
unsur di atas tidak akan terlaksana jika yang memerintah itu bukan orang yang
berdaulat.
Dapat dipastikan bahwa yang berkuasa adalah
satu-satunya sumber hukum, sehingga tidak ditemukan lagi sumber hukum di
atasnya. Maka John Austin berpendapat, bahwa tiap undang-undang positif
ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau
sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota dari suatu
masyarakat politik yang berdaulat, di mana pembentuk hukum adalah yang
tertinggi. Dengan ketentuan ini juga tidak disangkal bahwa adanya norma-norma
hukum ilahi, norma moral dan juga tentang hukum internasional.
John Austin terkenal dengan pandangannya
tentang positivisme analitis yang diberi nama analytical jurisprudence (ajaran
hukum analistis). Melihat nama jelasnya aliran ini hanya menggunakan metode
analitis, yaitu menganalisis sistem-sistem hukum tertentu, kemudian sampai pada
suatu ide umum tentang hukum yang selalu berlaku, karena termasuk hukum
sebagai hukum.
Aliran hukum positif yang analitis
mengartikan bahwa hukum itu sebagai perintah dari pembentuk undang-undang atau
penguasa (a command of the lawgiver), yaitu suatu perintah dari orang-orang
yang memegang kekuasaan tertinggi atau orang-orang yang memegang kedaulatan.
Hukum dianggap sebagai sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Hukum
secara tegas dipisahkan dengan norma moral, dari hal yang berkaitan dengan
keadilan, serta tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik atau
buruk.
Ciri-ciri aliran hukum positif dari buah
pikiran John Austin, kemudian dikembangkan lagi oleh H.L.A. Hart, antara lain :
a. Hukum
merupakan perintah dari manusia (command of human being).
b. Tidak
ada hubungan mutlak atau penting antara hukum di satu pihak dengan moral di
lain pihak, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.
c. Analisis
terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan
dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibedakan pula dari
penilaian yang bersifat kritis.
d.
Pengertian bahwa sistem hukum merupakan
sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, serta di dalamnya keputusan
hukum yang tepat atau benar biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika
dari peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memerhatikan tujuan
sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.
e.
Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak
dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus
dibuktikan dengan argumentasi rasional.
Selain pandangan mengenai aliran hukum
positif analitis yang dikembangkan oleh John Austin, terdapat pula aliran hukum
positif yang bersifat murni
dikembangkan oleh Hans Kelsen yang bertolak dari dua
bentuk dan materi dalam bidang ilmu pengetahuan. Teorinya yang terkenal
dituangkan dalam bukunya yang berjudul :
a. Reine
Rechtslehre (ajaran hukum murni), tahu 1934.
b. Algemeine
Staatslehre (ajaran umum tentang negara), tahun 1925.
c. General
Theory of law and State (teori umum tentang hukum dan negara), tahun 1945.
Hans Kelsen berpendapat bahwa hukum
bersifat normatif, hukum yang normatif adalah pengakuan hukum sebagai hukum.
Pengertian hukum yang murni juga diketengahkannya, bahwasanya hukum itu perlu
diselidiki justru sebagai hukum, yakni lepas dari pandangan-pandangan terhadap
hukum yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan arti hukum sebagai hukum,
yaitu segi psikologi, sosiologi, etis dan politis. Pada pengertian hukum yang
bersifat riil memang terdapat segi psikologi, sosiologi, etis dan politis, oleh
karena itu ada baiknya jika hal itu diperhatikan juga, tetapi jika sampai pada
suatu pengertian yang sifatnya objektif murni tentang hukum perlu dibuat
abstraksi dari segi tersebut. Dasar-dasar pokok yang diungkapkan dalam Teori
Hukum Murni Hans Kelsen sebagai berikut :
a.
Tujuan teori tentang hukum, seperti juga
setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan
(unity).
b.
Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak,
keinginun. Ini adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum
yang seharusnya ada.
c.
Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
d.
Sebagai suatu teori tentang norma, teori
hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
e.
Suatu teori tentang hukum adalah formal,
suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan
atau pola yang spesifik.
f.
Hubungan antara teori hukum dan sistem hukum
positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Selain teori murni tentang hukum yang
diajarkan Hans Kelsen juga terdapat teori tentang Stufenbau des Recht, yang
mengetengahkan bahwa sistem hukum itu merupakan hierarki dari hukum, yaitu
suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi, dan
yang paling tinggi adalah norma dasar (grundnorm) yang merupakan suatu
keharusan dalam bidang hukum. Dasar berlakunya hukum adalah norma dasar,
tetapi agar norma dasar itu dapat berlaku dalam situasi yang konkret, harus ada
syarat tertentu yang dipenuhi, yakni bahwa hukum itu efektif, oleh karenanya
efektivitas itu merupakan syarat mutlak (conditio sine quanon) bagi berlakunya
hukum.
Hukum itu berkembang secara berangsur dan
bertingkat seperti bentuk piramida (stufen), mulai dari yang tertinggi bersifat
umum dan abstrak sampai kepada yang terendah bersifat konkret, khusus
(individualized) dan bersifat pelaksana. Hukum yang lebih rendah mendapat
legalitas dari hukum yang lebih tinggi, di mana setiap tingkatan sekaligus
merupakan penciptaan hukum baru dan merupakan pelaksanaan dari hukum yang lebih
tinggi (create and apply).
Sebagai contoh seperti diuraikan sebagai
berikut : peraturan pemerintah mendapatkan legalitas dari hukum yang lebih
tinggi, yakni undang-undang, maka peraturan pemerintah itu merupakan hukum
baru, sekaligus merupakan pelaksanaan dari hukum yang lebih tinggi, dalam hal
ini adalah undang-undang oleh karena itu peraturan pemerintah itu tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang. Adapun undang-undang mendapatkan legalitas
dari Undang-Undang Dasar, dan Undang-Undang Dasar mendapatkan legalitas dari
Grundnorm atau norma dasar yang merupakan puncak dari piramida itu.
Norma dasar yang dimaksud oleh Hans Kelsen
adalah norma dasar yang dirumuskan dalam bentuk kaidah hukum yang dianggap
paling tinggi kedudukannya, bukan merupakan norma yang berasal dari hukum alam.
Baginya norma dasar itu berfungsi sebagai layaknya tata hukum, oleh karena itu
keharusan dan kewajiban yang berkaitan dengan hukum itu tidak berasal dari
kaidah yang tertentu dan tetap. Grundnorm yang menjadi dasar dari segala hukum
yang berlaku dalam suatu negara itu tidak bisa dicari sumbernya secara
deduktif, tetapi hendaknya secara apriori diterima sebagai hipotesis awal atau
initial hypothesis.
Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena
semua hukum itu berakar dalam suatu norma dasar (grundnorm). Berlakunya suatu
undang-undang harus dipandang dalam kaitannya dengan seluruh proses pembentukan
hukum oleh suatu instansi yang berwibawa. Undang-undang berlaku karena dibentuk
oleh instansi hukum yang mempunyai kompeten dan mampu menjatuhi hukuman jika
hukumnya dilanggar.
Adapun kaitannya dengan keadilan,
menurutnya keadilan berada di luar pengertian hukum sebagai hukum, arti hukum
terletak pada bentuk hukum, sedangkan keadilan ada hubungan dengan isi hukum.
Maka menurutnya semua hukum itu sah asalkan selalu berakar dalam norma-norma
dasar dan memiliki efektivitas, maka kesimpulannya teori Hans Kelsen
berpendapat bahwa hukum itu tidak selalu bertepatan dengan keadilan.
III. Aliran utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata latin yaitu
“Utilis”, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori
kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory). Utilitarianisme adalah kebahagiaan yang
sangat besar. Utilitarianisme atau utilisme adalah aliran yang meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan ini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Bergantung kepaea apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia tentang suatu kebaikan. Sehingga esensi hukum harus bermanfaat,
artinya hukum yang dapat membahagiakan sebagian terbesar masyarakat (the
greatest happiness for the greatest number of people). Pandangan ini bersumber dari filsafat yunani
yaitu HEDONISME, bahwa sesuatu yang enak itulah yang diinginkan seseorang.
“Setiap orang ingin hidup dengan selamat damai dan bahagia, seorangpun
tiada yang ingin hidup dengan susah paya atau terhina dan sebagainya. Dalam hati kita merasakan berbagai macam keinginan,
tetapi anehnya kita tak pernah merasa puas sepenuhnya. Karena jika keinginan yang satu kita puaskan,
sebentar akan timbul keinginan lain lagi, maka hilanglah rasa kepuasan itu. Keadaan yang kita sebut “kebahagiaan” artinya
keadaan dimana semua keinginan – keinginan kita terpenuhi, yang membawa
ketenangan dan ketentraman hati yang sepenuhnya itu Nampak sukar dicapai.”
(Sala, 2000: 105)
1. Ajaran Pokok Utilitarianisme
a.
Seseorang hendaknya bertindak sedemikian
rupa, sehingga memajukan kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar
orang.
b.
Tindakan secara moral dapat dibenarkan jika
ia menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan, dibandingkan tindakan
yang mungkin diambil dalam situasi dan kondisi yang sama.
c.
Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan
dinilai menurut kebaikan dan keburukan akibatnya.
d.
Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar
hendaknya menjadi kriteria dalam perkara etis. Kriteria itu harus diterapkan
pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari keputusan-keputusan etis.
IV. Aliran sejarah
Inti ajaran aliran sejarah atau historisme
adalah bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari jiwa rakyat, yang oleh murid
Savigny, yaitu G. Puchta dinamainya volkgeist; hukum itu tumbeh bersama – sama
dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati Jika bangsa itu
kehilangan kebangsaannya.ucapan Savigny yang terkenal adalah : “des Recht vird
nicht gemacht, es ist und wird mes dem Volke.”
Jadi penganut historisme menolak pandangan
bahwa hukum itu dibuat. Bagi mereka, hukum itu tidak dibuat melainkan ditemukan
dalam masyarakat. Mereka jelas mengagungkan masa lampau. Terdapat hubungan
organis antara hukum jiwa rakyat. Hukum yang benar – benar hidup hanyalah hukum
kebiasaan. Ciri khas mereka adalah kedidakpercayaan pada pembuatan undang –
undang , ketidakpercayaan pada kodifikasi. Dalam makalahnya yang merupakan
reaksi terhadap makalah seorang.
Salah satu kritik terhadap ajaran historis
ini, karena mereka memberikan nilai yang terlalu tinggi terhadap jiwa bangsa
sebagai sumber hukum. “ukuran jiwa bangsa” di dalam suatu masyarakat modern
yang kompleks seperti kini, sangatlah abstrak dan sukar didefinisikan dan sukar
diukur. Belum lagi di dalam di dalam kenyataannya kini, “iklim globalisasi”
sudah semakin menyulitkan bagi kita untuk membuat ukuran jiwa bangsa tadi . (
Tuguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu
Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada ).
V. Aliran sociological jurisprudance ( aliran sosiologis )
Aliran sosiologis ini memandang hukum sebagai
“kenyataan sosial” dan bukan hukum sebagai kaidah. Oleh karena itu, jika kita
ingin membandingkan persamaan dan perbedaan antara pandangan kaum positivis
dengan kaim sosiologis di bidang hukum, maka dapatlah dilihat sebagai berikut.
Persamaan antara positivisme dan sosiologisme
adalah keduanya terutama memusatkan perhatiannya pada hukum tertulis atau
perundang – undangan. Perbedaannya adalah :
a. Positivisme
memandang hukum tidak lain kaidah – kaidah yang tercantum dalam perundang –
undangan, sedangkan sosiologisme memandang hukum adalah kenyataan sosial. Ia
mempelajari bagaimana dan mengapa dari tingkah laku sosial yang berhubungan
huium dan pranata – pranata hukum sebagaimana kita lihat. Sikap dasar kaum
sosiologis hukum itu adalah kecurigaan. Dengan kata lain kaum posotivis melihat
“law in books”, sedangkan kaum
sosiologis memandang “law in action.”
b. Positivisme
memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom atau mandiri, sedangkan
sosiologisme memandang hukum bukan sesuatu yang otonom, melainkan sangat
dipengaruhi oleh hukum yang ada dalam masyarakatnya, seperti faktor ekonomi,
politik, budaya, dan sosial lainnya.
c. Positvisme
hanya mempersoalkan hukum sebagai “das sollen” ( apa yang seharusnya),
sedangkan sosiologisme memandang hukum sebagai “das sein” ( dalam kenyataannya
)
d. Positivisme
cenderung berpandangan yuridis – dogmatik, sedangkan sosiologisme hukum
berpandangan empiris
e. Metode
yang digunakan kaum positivitis adalah preskriptif, yaitu menerima hukum
positif dan penerapannya, sedang metode yang digunakan oleh penganut
sosiologisme hukum adalah dekriptif.
Para penganut aliran sosiologis di bidang
ilmu hukum dpat dibedakan antara yang menggunakan sociology of law sebagai
kajiannya, dan yang menggunakan sociological jurisprudence sebagai kajiannya.
Sociology of law lahir di Italia, pertamakali dikenalkan
oleh Anzilotti. Oleh karena itu, berkonotasi Eropa daratan, sedangkan
sociological jurisprudence lahir di Amerika Serikat, olehnya itu berkonsentrasi
pada Anglo Saxon.
Sistem anglo saxon atau common law dianut
oleh suku – suku anglika dan saksa yang mendiami sebagian besar Inggris
sehingga disebut sebagai sistem Anglo Saxon. Suku Scoott yang mendiami
Skotlandia tidak manganut sistem hukum itu. Meskipun berada di tanah Inggris
mereka menganut sistim civil law.
Negara – negara berbahasa inggris yang
merupakan bekas jajahan Inggris menganut sistem common law. Akan tetapi,
Amerika Serikat sebagai bekas jajahan Inggris menggembangkan sistem yang
berbeda dengan yang berlaku di Inggris meskipun masih dalam kerangka sistem
common law. Di lain pihak perkembangan politik, ekonomi, dan teknologi yang
terjadi di Amerika Serikat lebih pesat daripada yang terjadi di Inggris.
Perkembangan deminikian menyebabkan transaksi dengan negara – negara lain. Hal
ini berimplikasi pada banyaknya hukum Amerika serikat yang dijadikan acuan atau
landasan transaksi yang bersifat internasional. Oleh karena itu sitem common
law pada saat ini lazim disebut sebagai sistem Anglo – American. ( Mahmud Marzuki, Peter. 2008.
Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana )
VI.
Aliran realism hukum
Aliran ini
dikembangkan oleh ahli – ahli hukum realis di Amerika antara lain :
a.
Karl
Lewllyn ( 1893 – 1962 )
b.
Jarome
Frank ( 1889 – 1957 )
c.
Hakim
agung Oliver Wendell Holmes ( 1841 – 1935 )
d.
Ahli
hukum Skandivia
Para
ahli hukum realis yang menggunakan pendekatan sosiologis dengan semboyan “hukum
adalah apa yang dibuat oleh para hakim,” menurut para realis atau kaum realis
hakim lebih layak disebut ‘pembuat hukum’ daripada ‘penemu hukum.’ Menurut
Oliver Wendell Holmees, hukum bukanlah apa yang tertulis, tetapi hukum yang
sebenarnya adalah hukum yang dijalakan atau di laksanakan.
Paham
realisme hukum memandang hukum sebagaimana sesorang advokat memandang hukum.
Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagimana
memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan baimana masa depan dan kaidah
hukum tersebut.
Karena
itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan
hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan – putusan hukum
pada masa lalu untuk kemudian digunakakn untuk memprediksi atau memperkirakan
putusan pada masa yang akan datang.
VII. Aliran antropologis
Antropologi sendiri merupakan kajian atau ilmu yang
terpisah dari hukum. Secara harfiah, antropologi berarti “the study of man” ( studi tentang manusia ). Aliran ini muncul
sekitar abad ke – 19. Salah satu objek kajian utama antropologi adalah kultur,
dan pengertian kultur secara antropologi adalah,
“created
by man for himself and transmitted to his successors by means other than
biological. It includes views on the organisation by society of its sosial and
leegal institutions, for example.” ( Tuguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju
Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada )
Dari optik antropologi, tempat hukum di dalam
kultur masyarakat adalah sangatlah luas. Hukum mencakupi suatu pandangan
masyarakat tentang kebutuhan untuk “survival.” Hukum juga merupakan aturan yang
mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metodenya untuk melindungi
masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Oleh karena itu, para antropolog mempunyai pengertian
tersendiri tentang apa yang mereka pandang sebagai hukum, yaitu antara lain : (
L.B. Curzon, Jurisprudence, M & E Hendbook, hlm. 130 – 131 )
a.
Any
rule of conduct likely to be enforced by the courts schapera
b.
The
whole reservoir of ruler on which judges draw for their decisions ( Gluckman )
c.
That
body of blinding obligantion, which has been reinstrutionalised whithin the
legal instritutions ( Bohanan )
d.
Rules
or modes of conduct made obligantions by same saction which is imposed and
enforced for their violations by controling authority. ( Pospisil )
Ada beberapa ajaran yang beraliran
antropologis terhadap hukum yang patut dikemukakan esensi ajarannya berikut
ini, yaitu ajaran dari pakar – pakar :
a.
Molinowski
b.
Hoebel
c.
Gluckman
d.
Bohannan
e.
Pospisil
Menurut T.O. Ihroni, objek kajian antropologi tentang
hukum ini adalah :
a. Hukum
bukan barat
b. Hukum
dalam masyarakat yang belum kompleks
c. Hukum
tidak tertulis
d. Hukum
rakyat / lokal
( Ihromi ( Ed ). 1994. Antropologi dan Hukum. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Halaman 66 – 67 )
VIII. Aliran hukum islam
Dalam pandangan islam, bahwa hukum islam
bersumber dari ajaran islam ( Al – Quran dan Sunnah ). Dalam kajian hukum islam
dikenal “islamic law” untuk
penyebutan syariah islam san “islamic jurisprudence.”
Dalam Islamic Law, hukum Islam sengaja
diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad dengan maksud menyusun
ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat manusia. Karena itu dasar -
dasar hukumnya mengatur mengenai segi-segi pembangunan, politik, sosial
ekonomi, dan budaya disamping hukum-hukum pokok tentang kepercayaan dan
kebaktian atau ibadat kepada Allah. Hukum Islam merupakan hukum yang diciptakan
oleh Allah khusus untuk semua orang yang beragama Islam.
Prinsip Islamic
Law menganut suatu keyakinan dari ajaran agama Islam dengan keyakinan lahir
batin secara individual. Bagi negara-negara yang menganut asas hukum Islam
dalam bernegara melaksalanakan peraturan-peraturan hukumnya secara taat sesuai
yang dianggap adil berdasarkan peraturan perundangan negara yang dibuat dan
tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. ( Tuguh Prasetyo
dan Abdul Halim Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum : Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada ).
Komentar
Posting Komentar