Aliran Hukum

Aliran – Aliran Hukum

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hingga saat ini, belum ada kesepahaman dari para ahli mengenai pengertian hukum. Telah banyak para ahli dan sarjana hukum yang mencoba untuk memberikan pengertian atau definisi hukum, namun belum ada satupun ahli atau sarjana hukum yang mampu memberikan pengertian hukum yang dapat diterima oleh semua pihak. Ketiadaan definisi hukum jelas menjadi kendala bagi mereka yang baru saja ingin mempelajari ilmu hukum. Tentu saja dibutuhkan pemahaman awal atau pengertian hukum secara umum sebelum memulai untuk mempelajari apa itu hukum dengan berbagai macam aspeknya. Bagi masyarakat awam pengertian hukum itu tidak begitu penting. Lebih penting penegakannya dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Namun, bagi mereka yang ingin mendalami lebih lanjut soal hukum, tentu saja perlu untuk mengetahui pengertian hukum.[10] Secara umum, rumusan pengertian hukum setidaknya mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
·         Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat. Peraturan berisikan perintah dan larangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku manusia agar tidak bersinggungan dan merugikan kepentingan umum.
·         Peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga  atau badan yang berwenang untuk itu. Peraturan hukum tidak dibuat oleh setiap orang melainkan oleh lembaga atau badan yang memang memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu aturan yang bersifat mengikat bagi masyarakat luas.
·         Penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Peraturan hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Untuk menegakkannya diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menegakkannya sekalipun dengan tindakan yang represif. Meski demikian, terdapat pula norma hukum yang bersifat fakultatif/melengkapi.[11]
·         Hukum memliki sanksi dan setiap pelanggaran atau perbuatan melawan hukum akan dikenakan sanksi yang tegas. Sanksi juga diatur dalam peraturan hukum.                            ( https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum )

hukum sebagai sebuah produk dialektika evolousioner masyarakat niscaya harus terus berkembang dalam lingkupan zaman dan waktu. Hukum yang dulu di anggap sebagai suatu keniscayaan, lambat laun mulai di tinggalkan dan di gantikan peranannya oelh hukum yang lebih relevan bagi zaman dan waktu tertentu. Namun, kajian yang sangat menarik dalam perkembangan ilmu hukum adalah dalam perkembangan ilmu hukum dari masa ke masa tidak terjadi sutau loncatan revolusioner atau perubahan secara menyeluruh seperti ilmu eksak. Hukum sebagai ilmu berkembang secara kumulatif dan evolusi, dimana perkembangan ilmu hukum tidak dapat diprediksi secraa matematis, namun harus dengan pendekatan fisiologis yang juga menyangkut akan keyakinan suatu individu atau masyarakat terhadap hukum tersebut. ( Tuguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada )
Dalam penemuan hukum terdapat beberapa aliran. Sebelum tahun 1800 sebagian besar hukum adalah kebiasaan. Di muka hukum kebiasaan itu beraneka ragam dan kurang menjamin kepastian hukum. Keadaan ini menimbulkan gagasan untuk menyatukan hukum dan menuangkan dalam sebuah kitab undang-undang, maka timbullah gerakan kodifikasi ( Mertokusumo, Sudikno. 2007. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty ).
Beberapa aliran atau muzhab dalam pemikiran tentang hukum, dipandang sangat penting karena mempunyai pengaruh luas bagi pengelolaan hukum lebih lanjut, seperti dalm pembuatan undang – undang dan penerapan hukum termasuk dalam proses peradilan. Atau dengan kata lain beberapa aliran kepercayaan hukum mewarna praktek hukum. Umumnya para ahli membagi aliran-aliran dalam Filsafat Hukum menjadi 7 (tujuh) aliran.
Aliran hukum alam berkembang sejak 2500 tahun yang lalu. Aliran ini timbul sebagai akibat dari kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam dipandang sebagai yang lebih tinggi dibanding dengan hukum yang diciptakan oleh manusia. Aliran – aliran hukum tersebut adalah :
  1. Aliran hukum alam
  2. Aliran hukum positif
  3. Aliran utilitarianisme
  4. Aliran sejarah
  5. Aliran sociological jurisprudance
  6. Aliran realism hukum
  7. Aliran antropologis
  8. Aliran hukum islam





















I.          Aliran hukum alam
1.      Esensi hukum alam
Hukum alam adalah “Hukum yang abadi dan berlaku dimana-mana dimuka bumi ini”. Teori mengenai hukum alam ini usianya sudah sangat tua. Teori ini sudah diajarkan oleh yunani. Antara lain ahli pikir yang bernama Aristoteles sudah mengajarkan, bahwa ada dua macam hukum yaitu hukum yang berlaku karena penetapan manusia (oleh penguasa-penguasa atau persekutuan hukum) dan disamping itu suatu hukum yang “asli”, bawaan kodrat alam, tidak tergantung dari pandangan manusia tentang baik buruknya. Aristoteles mengakui, bahwa pandangan orang tentang “keadilan” adalah berbeda-beda, hingga seolah-olah tidak ada hukum yang asli (hukum alam) tersebut, tetapi untuk keaslian sesuatu hal tidaklah menjadi syarat atau hal tersebut diakui dizaman apa saja dan ditempat manapun.
Hukum alam memberikan dasar etika dan moral bagi berlakunya hukum positif, memberikan dasar pembenarbagi berlakunya kebebasan manusia dalam kehidupan negara, memberikan ide dasar tentang keadilan sebagai tujuan hukum, dasar bagi konstitusi beberapa negara. Para penganut hukum alam memberi arti hukum yang berlaku dengan menghubungkannya kepada metafisika. Hukum bukan hanya merupakan fenomena empiris yang dapat diterangkan dengan postulat-postulat tertentu, sebagaimana halnya dengan aturan tentang permainan. Hukum mempunyai konotasi yang lebih jauh, yaitu berasal dari tuhan pencipta alam atau berasal secara opriori dari watak rasional manusia. Jadi, aturan hukum jauh lebih bermakna dari sekedar aturan main.Hukum alam (Natural Law atau Law of Nature) adalah sistem hukum yang konon di tentukan oleh alam, dan oleh karenanya bersifat universal. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Merupakan ideal-ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
b.      Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,
c.       Suatu metode untuk menemukan hukum yang sempurna,
d.      Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.
e.       Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum
2.      Fungsi hukum alam
Friedman mengemukakan bahwa meskipun kini kita tidak mungkin lagi menerima berlakunya hukum alam sebagai aturan, tetapi selama sejarahnya, hukum alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum kita. Sumbangan itu adalah :
a.       Berfungsi sebagai instrumen utama di dalam farmasi hukum perdata romawi kuno menjadi suatu sistem yang lebih luas dan bersifat kosmopolitan.
b.      Menjadi senjata yang digunakan oleh kedua pihak dalam pertarungan antara pihak gereja dengan pihak kekaisaran Jerman. Atas nama hukum alam maka keadilan hukum internasional dapat ditegakkan.
c.       Prinsip – prinsip hukum alam telah menjadi senjata dari para hakim Amerika ketika mereka membuat interprestasi atau pendapat terhadap konstitusi mereka, yaitu dengan menolak campur tangan negara melalui perundang – undangan yang ditujukan untuk melakukan pembahasan di bidang ekonomi.
d.      Menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan keabsolutan.
3.      Para pemikir teori Hukum Alam
Cukup banyak filsuf yang menjadi pemikir atau penggagas teori hukum alam. Pemikiran masing-masing tokoh hukum alam tersebut antara lain sebagai berikut:
a.       Plato (472-347 SM),
Menurut plato, kita semua hidup dalam dunia yang tertata inti dari dunia yang tertata ini, atau alam adalah bentuk-bentuk yang paling fundamental adalah bentuk kebaikan, yang plato menguraikannya sebagai “wilayah yang paling cemerlang dari suatu makhluk” bentuk kebaikan adalah asal mula segala hal dan jika itu terlihat maka akan menuntun seseorang untuk berbuat secara bijak.
b.      Menurut Aristoteles (384-322 SM),
Hukum Alam ialah “Hukum yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam” segala yang diperintahkan oleh hukum dapat berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, tetapi segala yang diperintahkan “oleh alam” akan selalu sama dimanapun. Oleh karenanya, hukum alam lebih merupakan sebuah paradoks daripada sesuatu yang secara nyata eksis/ada.
c.       Menurut Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), dengan aliran stoic-nya, hukum alam diartikan sebagai prinsip yang meresapi alam semesta, yaitu akal yang menjadi dasar bagi hukum dan keadilan.
d.      Menurut Thomas Van Aquino (1225-1274 SM), penganut hukum alam dari aliran scholastik, bahwa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh akal ketuhanan, hukum ketuhanan adalah yang tertinggi.
e.       Hugo De Groot (1583-1645), dalam bukunya “De jure belli ac pacis” (tentang hukum perang dan damai), mengatakan bahwa sumber hukum alam adalah pikiran atau akal manusia. Hukum alam ialah pertimbangan yang menunjukkan mana yanga benar dan mana yang tidak benar.
4.      Pembagian hukum alam
a.       Hukm Alam Rasional
Hukum itu berlaku universal dengan menekankan terhadap ratio manusia.Tokoh aliran ini antara lain Hugo Degrot.
b.      Bukum alam irrasional
Hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan mengesampingkan aspek ratio manusia. Toko aliran ini antara lain adalah Thomas Aquinas.

II.     Aliran hukum positif
Aliran Positivisme (Hukum Positif) menyamakan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang (legisme). Undang-undang dibuat oleh penguasa, oleh karena itu hukum merupakan perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari pemegang kekuasaan yang paling tinggi atau pemegang kedaulatan.
       Aliran filsafat hukum positif atau positivisme cukup kuat pada zaman rasionalis, dikembangkan oleh Immanuel Kant, aliran ini dianut oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ilmu pengetahuan. Menurut Immanuel Kant, bahwa positivisme berpangkal pada pandangannya bahwa manusia tidak mampu untuk mengetahui realitas selain melalui ilmu pengetahuan. Kebenaran hanya didapati melalui ilmu pengetahuan, sehingga tugas para filsuf itu mengumpulkan data-data untuk membuat sintesisnya.
 Ada tiga cabang yang muncul tentang positivisme di bidang hukum, yaitu :
a.       Positivisme sosiologis, yang memandang hukum sebagai gejala sosial saja. Sehingga hukum hanya dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan yang baru muncul pada waktu itu, yaitu sosiologi.
b.       Positivisme yuridis, yang memandang bahwa arti hukum itu sebagai gejala tersendiri, yaitu menurut metode hukum positif.
c.       Ajaran hukum umum, ajaran ini merupakan ajaran yang dekat dengan positivisme yuridis, pendapatnya bahwa kegiatan teoretis seorang ilmuwan terbatas pada uraian tentang arti dan prinsip-prinsip hukum secara induktif-empiris saja.

Menurut John Austin yang juga penganut aliran positivisme, bahwa hukum merupakan perintah dari penguasa, dengan merinci unsur-unsur perintah sebagai berikut :
a.    Adanya kehendak dari satu pihak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya itu.
b.    Pihak yang diperintah itu akan mengalami siksaan jika kehen­dak itu tidak dijalankan atau ditaati dengan baik.
c.    Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban antara yang diperintah dengan yang memerintah.
d.    Ketiga unsur di atas tidak akan terlaksana jika yang memerin­tah itu bukan orang yang berdaulat.
Dapat dipastikan bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum, sehingga tidak ditemukan lagi sumber hukum di atasnya. Maka John Austin berpendapat, bahwa tiap undang-undang positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota dari suatu masyarakat politik yang berdaulat, di mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan ini juga tidak disangkal bahwa adanya norma-norma hukum ilahi, norma moral dan juga tentang hu­kum internasional.
       John Austin terkenal dengan pandangannya tentang positivisme analitis yang diberi nama analytical jurisprudence (ajaran hukum analistis). Melihat nama jelasnya aliran ini hanya menggunakan metode analitis, yaitu menganalisis sistem-sistem hukum tertentu, kemudian sampai pada suatu ide umum tentang hukum yang selalu berlaku, karena termasuk hu­kum sebagai hukum.
       Aliran hukum positif yang analitis mengartikan bahwa hukum itu sebagai perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa (a com­mand of the lawgiver), yaitu suatu perintah dari orang-orang yang memegang kekuasaan tertinggi atau orang-orang yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Hukum secara tegas dipisahkan dengan norma moral, dari hal yang berkaitan dengan keadilan, serta tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik atau buruk.
       Ciri-ciri aliran hukum positif dari buah pikiran John Austin, kemudian dikembangkan lagi oleh H.L.A. Hart, antara lain :
a.    Hukum merupakan perintah dari manusia (command of human being).
b.    Tidak ada hubungan mutlak atau penting antara hukum di satu pihak dengan moral di lain pihak, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.
c.    Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibedakan pula dari penilaian yang bersifat kritis.
d.        Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, serta di dalamnya keputusan hukum yang tepat atau benar biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memerhatikan tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.
e.         Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi rasional.
       Selain pandangan mengenai aliran hukum positif analitis yang dikembangkan oleh John Austin, terdapat pula aliran hukum positif yang bersifat murni
dikembangkan oleh Hans Kelsen yang bertolak dari dua bentuk dan ma­teri dalam bidang ilmu pengetahuan. Teorinya yang terkenal dituangkan dalam bukunya yang berjudul :
a.       Reine Rechtslehre (ajaran hukum murni), tahu 1934.
b.      Algemeine Staatslehre (ajaran umum tentang negara), tahun 1925.
c.       General Theory of law and State (teori umum tentang hukum dan ne­gara), tahun 1945.
       Hans Kelsen berpendapat bahwa hukum bersifat normatif, hukum yang normatif adalah pengakuan hukum sebagai hukum. Pengertian hu­kum yang murni juga diketengahkannya, bahwasanya hukum itu perlu diselidiki justru sebagai hukum, yakni lepas dari pandangan-pandangan terhadap hukum yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan arti hukum sebagai hukum, yaitu segi psikologi, sosiologi, etis dan politis. Pada pengertian hukum yang bersifat riil memang terdapat segi psikologi, sosiologi, etis dan politis, oleh karena itu ada baiknya jika hal itu diperhatikan juga, tetapi jika sampai pada suatu pengertian yang sifatnya objektif murni tentang hukum perlu dibuat abstraksi dari segi tersebut. Dasar-dasar pokok yang diungkapkan dalam Teori Hukum Murni Hans Kelsen sebagai berikut :
a.         Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
b.        Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginun. Ini adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
c.         Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
d.        Sebagai suatu teori tentang norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
e.         Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
f.         Hubungan antara teori hukum dan sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
       Selain teori murni tentang hukum yang diajarkan Hans Kelsen juga terdapat teori tentang Stufenbau des Recht, yang mengetengahkan bahwa sistem hukum itu merupakan hierarki dari hukum, yaitu suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi, dan yang paling tinggi adalah norma dasar (grundnorm) yang merupakan suatu keharusan dalam bidang hukum. Dasar berlakunya hukum adalah nor­ma dasar, tetapi agar norma dasar itu dapat berlaku dalam situasi yang konkret, harus ada syarat tertentu yang dipenuhi, yakni bahwa hukum itu efektif, oleh karenanya efektivitas itu merupakan syarat mutlak (conditio sine quanon) bagi berlakunya hukum.
       Hukum itu berkembang secara berangsur dan bertingkat seperti bentuk piramida (stufen), mulai dari yang tertinggi bersifat umum dan abstrak sampai kepada yang terendah bersifat konkret, khusus (individu­alized) dan bersifat pelaksana. Hukum yang lebih rendah mendapat legalitas dari hukum yang lebih tinggi, di mana setiap tingkatan sekaligus merupakan penciptaan hukum baru dan merupakan pelaksanaan dari hukum yang lebih tinggi (create and apply).
       Sebagai contoh seperti diuraikan sebagai berikut : peraturan pemerintah mendapatkan legalitas dari hukum yang lebih tinggi, yakni undang-undang, maka peraturan pemerintah itu merupakan hukum baru, sekaligus merupakan pelaksanaan dari hukum yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah undang-undang oleh karena itu peraturan pemerintah itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Adapun undang-undang mendapatkan legalitas dari Undang-Undang Dasar, dan Undang-Undang Dasar mendapatkan legalitas dari Grundnorm atau norma dasar yang merupakan puncak dari piramida itu.
       Norma dasar yang dimaksud oleh Hans Kelsen adalah norma dasar yang dirumuskan dalam bentuk kaidah hukum yang dianggap paling tinggi kedudukannya, bukan merupakan norma yang berasal dari hukum alam. Baginya norma dasar itu berfungsi sebagai layaknya tata hukum, oleh karena itu keharusan dan kewajiban yang berkaitan dengan hukum itu tidak berasal dari kaidah yang tertentu dan tetap. Grundnorm yang menjadi dasar dari segala hukum yang berlaku dalam suatu negara itu tidak bisa dicari sumbernya secara deduktif, tetapi hendaknya secara apriori diterima sebagai hipotesis awal atau initial hypothesis.
       Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku karena semua hukum itu berakar dalam suatu norma dasar (grundnorm). Berlakunya suatu undang-undang harus dipandang dalam kaitannya dengan seluruh proses pembentukan hukum oleh suatu instansi yang berwibawa. Undang-undang berlaku karena dibentuk oleh instansi hukum yang mempunyai kompeten dan mampu menjatuhi hukuman jika hukumnya dilanggar.
       Adapun kaitannya dengan keadilan, menurutnya keadilan berada di luar pengertian hukum sebagai hukum, arti hukum terletak pada ben­tuk hukum, sedangkan keadilan ada hubungan dengan isi hukum. Maka menurutnya semua hukum itu sah asalkan selalu berakar dalam norma-norma dasar dan memiliki efektivitas, maka kesimpulannya teori Hans Kelsen berpendapat bahwa hukum itu tidak selalu bertepatan dengan ke­adilan.


III.      Aliran utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata latin yaitu “Utilis”, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah atau menguntungkan.  Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory).  Utilitarianisme adalah kebahagiaan yang sangat besar. Utilitarianisme atau utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.  Kemanfaatan ini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).  Bergantung kepaea apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia tentang suatu kebaikan.   Sehingga esensi hukum harus bermanfaat, artinya hukum yang dapat membahagiakan sebagian terbesar masyarakat (the greatest happiness for the greatest number of people).  Pandangan ini bersumber dari filsafat yunani yaitu HEDONISME, bahwa sesuatu yang enak itulah yang diinginkan seseorang.         
   “Setiap orang ingin hidup dengan selamat damai dan bahagia, seorangpun tiada yang ingin hidup dengan susah paya atau terhina dan sebagainya.  Dalam hati kita merasakan berbagai macam keinginan, tetapi anehnya kita tak pernah merasa puas sepenuhnya.  Karena jika keinginan yang satu kita puaskan, sebentar akan timbul keinginan lain lagi, maka hilanglah rasa kepuasan itu.  Keadaan yang kita sebut “kebahagiaan” artinya keadaan dimana semua keinginan – keinginan kita terpenuhi, yang membawa ketenangan dan ketentraman hati yang sepenuhnya itu Nampak sukar dicapai.” (Sala, 2000: 105)

1.      Ajaran Pokok Utilitarianisme
a.         Seseorang hendaknya bertindak sedemikian rupa, sehingga memajukan kebahagiaan (kesenangan) terbesar dari sejumlah besar orang.
b.        Tindakan secara moral dapat dibenarkan jika ia menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan, dibandingkan tindakan yang mungkin diambil dalam situasi dan kondisi yang sama.
c.         Secara umum, harkat atau nilai moral tindakan dinilai menurut kebaikan dan keburukan akibatnya.
d.        Ajaran bahwa prinsip kegunaan terbesar hendaknya menjadi kriteria dalam perkara etis. Kriteria itu harus diterapkan pada konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari keputusan-keputusan etis.

IV.       Aliran sejarah
Inti ajaran aliran sejarah atau historisme adalah bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari jiwa rakyat, yang oleh murid Savigny, yaitu G. Puchta dinamainya volkgeist; hukum itu tumbeh bersama – sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati Jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya.ucapan Savigny yang terkenal adalah : “des Recht vird nicht gemacht, es ist und wird mes dem Volke.”
Jadi penganut historisme menolak pandangan bahwa hukum itu dibuat. Bagi mereka, hukum itu tidak dibuat melainkan ditemukan dalam masyarakat. Mereka jelas mengagungkan masa lampau. Terdapat hubungan organis antara hukum jiwa rakyat. Hukum yang benar – benar hidup hanyalah hukum kebiasaan. Ciri khas mereka adalah kedidakpercayaan pada pembuatan undang – undang , ketidakpercayaan pada kodifikasi. Dalam makalahnya yang merupakan reaksi terhadap makalah seorang.
Salah satu kritik terhadap ajaran historis ini, karena mereka memberikan nilai yang terlalu tinggi terhadap jiwa bangsa sebagai sumber hukum. “ukuran jiwa bangsa” di dalam suatu masyarakat modern yang kompleks seperti kini, sangatlah abstrak dan sukar didefinisikan dan sukar diukur. Belum lagi di dalam di dalam kenyataannya kini, “iklim globalisasi” sudah semakin menyulitkan bagi kita untuk membuat ukuran jiwa bangsa tadi . ( Tuguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ).

V.       Aliran sociological jurisprudance ( aliran sosiologis )
Aliran sosiologis ini memandang hukum sebagai “kenyataan sosial” dan bukan hukum sebagai kaidah. Oleh karena itu, jika kita ingin membandingkan persamaan dan perbedaan antara pandangan kaum positivis dengan kaim sosiologis di bidang hukum, maka dapatlah dilihat sebagai berikut.
Persamaan antara positivisme dan sosiologisme adalah keduanya terutama memusatkan perhatiannya pada hukum tertulis atau perundang – undangan. Perbedaannya adalah :
a.       Positivisme memandang hukum tidak lain kaidah – kaidah yang tercantum dalam perundang – undangan, sedangkan sosiologisme memandang hukum adalah kenyataan sosial. Ia mempelajari bagaimana dan mengapa dari tingkah laku sosial yang berhubungan huium dan pranata – pranata hukum sebagaimana kita lihat. Sikap dasar kaum sosiologis hukum itu adalah kecurigaan. Dengan kata lain kaum posotivis melihat “law in books”, sedangkan kaum sosiologis memandang “law in action.”
b.      Positivisme memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom atau mandiri, sedangkan sosiologisme memandang hukum bukan sesuatu yang otonom, melainkan sangat dipengaruhi oleh hukum yang ada dalam masyarakatnya, seperti faktor ekonomi, politik, budaya, dan sosial lainnya.
c.       Positvisme hanya mempersoalkan hukum sebagai “das sollen” ( apa yang seharusnya), sedangkan sosiologisme memandang hukum sebagai “das sein” ( dalam kenyataannya )
d.      Positivisme cenderung berpandangan yuridis – dogmatik, sedangkan sosiologisme hukum berpandangan empiris
e.       Metode yang digunakan kaum positivitis adalah preskriptif, yaitu menerima hukum positif dan penerapannya, sedang metode yang digunakan oleh penganut sosiologisme hukum adalah dekriptif.

Para penganut aliran sosiologis di bidang ilmu hukum dpat dibedakan antara yang menggunakan sociology of law sebagai kajiannya, dan yang menggunakan sociological jurisprudence sebagai kajiannya.
Sociology of law lahir di Italia, pertamakali dikenalkan oleh Anzilotti. Oleh karena itu, berkonotasi Eropa daratan, sedangkan sociological jurisprudence lahir di Amerika Serikat, olehnya itu berkonsentrasi pada Anglo Saxon.
Sistem anglo saxon atau common law dianut oleh suku – suku anglika dan saksa yang mendiami sebagian besar Inggris sehingga disebut sebagai sistem Anglo Saxon. Suku Scoott yang mendiami Skotlandia tidak manganut sistem hukum itu. Meskipun berada di tanah Inggris mereka menganut sistim civil law.
Negara – negara berbahasa inggris yang merupakan bekas jajahan Inggris menganut sistem common law. Akan tetapi, Amerika Serikat sebagai bekas jajahan Inggris menggembangkan sistem yang berbeda dengan yang berlaku di Inggris meskipun masih dalam kerangka sistem common law. Di lain pihak perkembangan politik, ekonomi, dan teknologi yang terjadi di Amerika Serikat lebih pesat daripada yang terjadi di Inggris. Perkembangan deminikian menyebabkan transaksi dengan negara – negara lain. Hal ini berimplikasi pada banyaknya hukum Amerika serikat yang dijadikan acuan atau landasan transaksi yang bersifat internasional. Oleh karena itu sitem common law pada saat ini lazim disebut sebagai sistem Anglo – American.          ( Mahmud Marzuki, Peter. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana )
VI.         Aliran realism hukum
Aliran ini dikembangkan oleh ahli – ahli hukum realis di Amerika antara lain :
a.     Karl Lewllyn ( 1893 – 1962 )
b.     Jarome Frank ( 1889 – 1957 )
c.      Hakim agung Oliver Wendell Holmes ( 1841 – 1935 )
d.     Ahli hukum Skandivia
Para ahli hukum realis yang menggunakan pendekatan sosiologis dengan semboyan “hukum adalah apa yang dibuat oleh para hakim,” menurut para realis atau kaum realis hakim lebih layak disebut ‘pembuat hukum’ daripada ‘penemu hukum.’ Menurut Oliver Wendell Holmees, hukum bukanlah apa yang tertulis, tetapi hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalakan atau di laksanakan.
Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana sesorang advokat memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagimana memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan baimana masa depan dan kaidah hukum tersebut.
Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan – putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian digunakakn untuk memprediksi atau memperkirakan putusan pada masa yang akan datang.

VII.       Aliran antropologis
Antropologi sendiri merupakan kajian atau ilmu yang terpisah dari hukum. Secara harfiah, antropologi berarti “the study of man” ( studi tentang manusia ). Aliran ini muncul sekitar abad ke – 19. Salah satu objek kajian utama antropologi adalah kultur, dan pengertian kultur secara antropologi adalah,
created by man for himself and transmitted to his successors by means other than biological. It includes views on the organisation by society of its sosial and leegal institutions, for example.” ( Tuguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada )
Dari optik antropologi, tempat hukum di dalam kultur masyarakat adalah sangatlah luas. Hukum mencakupi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhan untuk “survival.” Hukum juga merupakan aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metodenya untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Oleh karena itu, para antropolog mempunyai pengertian tersendiri tentang apa yang mereka pandang sebagai hukum, yaitu antara lain : ( L.B. Curzon, Jurisprudence, M & E Hendbook, hlm. 130 – 131 )
a.      Any rule of conduct likely to be enforced by the courts schapera
b.      The whole reservoir of ruler on which judges draw for their decisions ( Gluckman )
c.       That body of blinding obligantion, which has been reinstrutionalised whithin the legal instritutions ( Bohanan )
d.      Rules or modes of conduct made obligantions by same saction which is imposed and enforced for their violations by controling authority. ( Pospisil )
Ada beberapa ajaran yang beraliran antropologis terhadap hukum yang patut dikemukakan esensi ajarannya berikut ini, yaitu ajaran dari pakar – pakar :
a.         Molinowski
b.        Hoebel
c.         Gluckman
d.        Bohannan
e.         Pospisil
Menurut T.O. Ihroni, objek kajian antropologi tentang hukum ini adalah :
a.       Hukum bukan barat
b.      Hukum dalam masyarakat yang belum kompleks
c.       Hukum tidak tertulis
d.      Hukum rakyat / lokal
( Ihromi ( Ed ). 1994. Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Halaman 66 – 67 )

VIII.    Aliran hukum islam
Dalam pandangan islam, bahwa hukum islam bersumber dari ajaran islam ( Al – Quran dan Sunnah ). Dalam kajian hukum islam dikenal “islamic law” untuk penyebutan syariah islam san “islamic jurisprudence.”
Dalam Islamic Law, hukum Islam sengaja diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat manusia. Karena itu dasar - dasar hukumnya mengatur mengenai segi-segi pembangunan, politik, sosial ekonomi, dan budaya disamping hukum-hukum pokok tentang kepercayaan dan kebaktian atau ibadat kepada Allah. Hukum Islam merupakan hukum yang diciptakan oleh Allah khusus untuk semua orang yang beragama Islam.
Prinsip Islamic Law menganut suatu keyakinan dari ajaran agama Islam dengan keyakinan lahir batin secara individual. Bagi negara-negara yang menganut asas hukum Islam dalam bernegara melaksalanakan peraturan-peraturan hukumnya secara taat sesuai yang dianggap adil berdasarkan peraturan perundangan negara yang dibuat dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. ( Tuguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2016. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ).






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fiqih Muamalah

HAK, KEWAJIBAN, DAN DISIPLIN MAHASISWA POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

GEMAPEKA PKN STAN 2017